Tujuh Belas Ke-Lima Belas, teruntuk Si Tiga Belas

Standar

U

Aku ingat, aku menemukannya berbeda dari lainnya. Ia tanpa gincu, ia tanpa rias. Ia bocah yang tak hentinya berkicau; tapi tenang, ia tak pernah meracau. Setidaknya sepenglihatanku.

Aku ingat, saat itu dia bersama lelaki yang kurang menghargainya. Ah, dia (Si Lelaki) tak tahu saja ia sebenarnya batu mulia. Kenampakannya yang biasa, butuh waktu tuk jadi indah yang tak terduga. Beruntungnya,di saat inilah aku membersamainya.

Aku ingat, pada awalnya hanya canda kubagi dengannya. Aku pernah mensketsa wajahnya kedalam rupa yang sama sekali tak ia suka.. Saat itu,wajahnya tak hentinya terlipat, namun aku hanya tertawa seraya hati mulai terpikat.

Aku ingat, kami biasa mencari luang, lalu memilih ruang tuk berbagi senang dan kenang. Kami biasa melakukannya hingga matahari menghilang, atau hingga ibunda meminta gadisnya tuk pulang.

Aku ingat, saat aku dan ia saling mengumpat rasa. Kami takut mengakui bahwa kami memang semakin terbiasa. Takut semua jadi percuma, takut semua hilang tanpa sisa. Hingga kemudian terkumpul asa, kunyatakan lah semua padanya. Setelahnya, terjawab ia inginkan pula kami tuk bersama.

Aku ingat, bersamanya hariku dipenuhi cita dan cinta. Kami biasa utarakan cita mengenai bagaimana kami kedepannya, lalu ucapkan cinta tuk hangatkan momen yang ada.

Aku ingat, ia kerap berlaku manja yang semakin buatku ingin jumpa. Aku bisa rasakan cinta yang nyata walau temu hanya sebatas maya. Suara dan kata adalah satu satunya cara kami tuk berjumpa, namun, itulah ia, wanita yang tak henti memberi perhati hingga akhir hari. Bagaimana mungkin aku tak semakin jatuh hati?

Aku ingat, saat ia datang pada hari lahirku tanpa lebih dulu memberi tahu. Disodorkannya padaku sebongkah kue bolu berhias lilin, seraya memintaku ucapkan doa mengenai hal yang kuingin. Ia datang dengan tebal kantung mata, mungkin menimbun cinta yang inginkan jumpa.

Aku ingat, daun pintu sontak ditutup dihadapku, saat aku muncul di depan kamarnya seminggu sebelum ia bertambah umur. Ia tak sangka bahwa akan datang sebuah jumpa, ia tampak mendadak lemas saat kuberi kotak kuning berpita emas.

Aku ingat, saat ia perkenalkan aku pada keluarga di kotanya. Kami menerima beberapa wejangan, yang semakin mantapkan kami tuk tetap berpegangan. Berbulan kemudian, kubawa ia pada keluargaku. Nampak sekali ia malu, terutama saat bercakap dengan ibu tersayangku.

Aku ingat, saat keluarganya hampiri kota-ku sejenak. Berat adiknya saat kugendong masih jelas terasa di pundak. Menemani ia dan keluarganya jadi hal yang percepat jantung berdetak. Saat dimana ibunda memintaku tuk menjaga gadis manjanya, masih jelas terasa dalam benak.

Aku ingat, kami pernah sejenak lengah. Timbul selisih di tengah sibuk yang membuat jengah. Entah apa yang buat timbul prasangka, mungkin kami hanya lelah. Tapi prahara takkan bisa buat kami terpecah belah. Aku dan ia, doaku, semoga dijauhkan dari kata pisah.

Aku ingat, ini tujuh belas ke-lima belas, bersama ia, si Tiga Belas. Ia, yang bersamaku sejak malam dimana sajak berbalas. Aku beruntung dapatkan ia yang menerimaku dengan ikhlas. Keindahan ia lebih dari sekedar paras. Terima kasih padanya, telah memberiku bahagia tanpa batas. Semoga aku, dan ia, memanglah sepasang yang Tuhan jadikan pantas.

Terima kasih, Adzhani. Terima kasih telah kau titip hati.

Selamat tujuh belas ke-lima belas, teruntuk kamu, si Tiga Belas.

Aku, mencintamu.